Resume
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Etika Keperawatan
Oleh
Siwi Magda Ayu Prisdayanti
1501300055
POLITEKNIK
KESEHATAN KEMENKES MALANG
PROGRAM
STUDI D-III KEPERAWATAN BLITAR
MARET
2016
1.
Nilai
Latar
belakang budaya seseorang mempengaruhi nilai kesehatan. Nilai memberikan hidup
dan identitas kepada individu, profesi, dan masyarakat. Nilai dibentuk dan
dipertahankan oleh individu pelakunya dan juga oleh sekelompok orang. Nilai seorang
perawat mempengaruhi perawatan terhadap klien. Perawat menggunakan klarifikasi
nilai dengan klien akan memberikan respon yang bersifat menjelaskan yang akan
menstimulasi adanya intropeksi mengenai nilai dan perilaku.
Ada
beberapa pengertian tentang nilai, yaitu:
1. Nilai
adalah kepercayaan individu tentang kegunaan dari ide, sikap, adat istiadat,
atau objek yang menentukan standar yang mempengaruhi perilaku
(Maslow, 1977; Rokeach, 1973).
(Maslow, 1977; Rokeach, 1973).
2. Nilai
adalah keyakinan personal mengenai harga atas suatu ide, tingkah laku,
kebiasaan, atau objek yang menyusun suatu standar yang mempengaruhi tingkah
laku (Kluckhon, 1951; Maslow, 1959; Rockeach, 1973).
3. Nilai
adalah seperangkat keyakinan dan sikap pribadi seseorang tentang kebenaran,
keindahan, dan penghargaan dari suatu pemikiran, objek, atau perilaku yang
berorientasi pada tindakan dana pemberian arah serta makna pada kehidupan
seorang (Simon dalam Nila Ismani, 2001).
4. Nilai
adalah keyakinan seorang tentang sesuatu yang berharga, kebenaran, atau
keinginan mengenai ide-ide, objek, atau perilaku khusus
(Znowski dalam Nila Ismani, 2001).
(Znowski dalam Nila Ismani, 2001).
Nilai
muncul dari pengalaman pribadi seseorang dan akan berbeda untuk setiap orang.
Karakteristik nilai yakni :
a. Nilai
membentuk dasar perilaku seseorang.
b. Nilai
nyata dari seseorang diperlihatkan melalui pola perilaku yang konsisten.
c. Nilai
menjadi control internal bagi perilaku seseorang.
d. Nilai
merupakan komponen intelektula dan emosiaonal dari seseorang yang secara
intelektual diyakinkan tentabf suatu nilai serta memegang teguh dan mempertahankannya.
Nilai-nilai
yang diperlukan oleh seorang perawat adalah:
1. Kejujuran 3. Ketepatan dalam
setiap tindakan
2. Lemah
lembut 4. Menghargai
orang lain
2.
Norma
Norma
berasal dari kata “norm” yang artinya
pedoman atau patokan bagi setiap orang dalam bersikap tindak baik terhadap diri
orang lain ataupun terhadap dirinya sendiri.Dalam bahasa Belanda istilah norma
disebut juga “maatregel”, maat artinya sama dengan kaidah yang
berasaldari kata “aqidah”.
Norma
insubjektif adalah norma yang menjadi pedoman untuk bersikap tindak terhadap
orang lain dengan norma sopan santun, norma hokum, dan norma tata tertib. Norma
reflektif adalah norma yang diperlukan sebagai pedoman untuk bersikap tindak
terhadap diri sendiri.
Norma
yang menjadi pedoman bagi manusia dalam bersikap menurut bidang pengaturannya
dalam kehidupan bermasyarakat. Ada empat bidang dalam kehidupan manusia yang
sesuai dengan norma yakni :
1. Kaedah kepercayaan atau agama
1. Kaedah kepercayaan atau agama
Kaedah
ini mengacu pada kewajiban manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan kepada
dirinya sendiri. Sumber atau asal kaedah ini adalah ajaran kepercayaan atau
agama yang oleh pengikutnya dianggap sebagai perintah Tuhan. Dengan demikian
diharapkan manusia memiliki sikap batin sesuai dengan isi kaedah kepercayaan
atau keagamaan.
2. Kaedah kesusilaan
2. Kaedah kesusilaan
Kaedah
kesusilaan adalah nurani individu dan bukan manusia sebagai makhluk sosial atau
sebagai makhluk sosial teroganisir. Kaedah ini ditujukan kepada umat manusia
agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi guna penyempurnaan manusia dan melarang
manusia untuk melakukan kejahatan.
3. Kaedah sopan santun
3. Kaedah sopan santun
Didasarkan
apada kebiasaan, kepatutan, atau kepantasan yang berlaku dalam masyarakat.
Kaedah sopan santun hanya membebani manusia dengan kewajiban. Berbeda lapisan
masyarakat, berbeda pula sopan santunnya.
4. Kaedah hukum
4. Kaedah hukum
Kaedah hokum
ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkret, yaitu si pelaku pelanggaran
yang jelas-jelas berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk
ketertiban masyarakat agar masyarakattertib, tidak ada korban kejahatan, dan
tidak terjadi kejahatan.
3.
Etika dan Etiket
Etika
berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu
ethos yang dalam bentuk tunggal
mempunyai
arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang,kebiasaan, adat, akhlak,
watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir.
Etika
merupakan suatu pertimbangan yang sistematis tentang perilaku benar
atau
salah. Etika merupakan aplikasi atau penerapan teori tentang filosofi moral
kedalam situasi nyata dan berfokus pada prinsip dan konsep yang membimbing
manusia berpikir dan bertindak dalam kehidupannya yang dilandasi oleh
nilai-nilai yang dianutnya.
Etika medis adalah bagian dari etika
yang secara khusus memperhatikan pelaksanaan dan perencanaan pelayanan medis,
semangat yang mendasarinya, dan hal-hl lain yang berkaitan dengannya.
Etiket atau adat merupakan sesuatu yang dikenal,
diketahui, diulang, serta menjadi suatu kebiasaan di dalam suatu masyarakat,
baik berupa kata-kata atau suatu bentuk perbuatan yang nyata.
Ø Persamaan etika dan etiket
:
a. Etika
dan etiket menyangkut perilaku manusia, istilah ini hanya digunakan untuk
manusia.
b. Baik
etika maupun etiket mengatur tentang perilaku manusia secara normative, artinya
memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang
harus dilakukan.
Ø Perbedaan etika dan etiket
:
|
Etika
|
Etiket
|
|
Tidak
terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan melainkan memberi norma
tentang perbuatan itu sendiri.
|
Menyangkut
cara suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia yang telah ditentukan dalam
suatu kalangan tertentu.
|
|
Etika
tidak bergantung pada hadir tidaknya orang lain.
|
Etiket
hanya berlaku dalam pergaulan. Jika tidak ada orang lain hadir atau tidak ada
saksi mata, etiket tidak berlaku.
|
|
Mudah
diberi dispensasi atau keringanan
|
Bersifat
relatif
|
|
Menyangkut
manusia dari segi dalam
|
Memandang
manusia dari segi lahiriah saja
|
4.
Moral
Kohlberg
telah berusaha memperlihatkan bahwa tahap-tahap moral menyajikan suatu
rangkaian tetap dengan tahap yang lebih tinggi, secara struktural lebih memadai
dari tahap-tahap sebelumnya. Keadekuatan seperti itu dapat ditinjau dari sudut
psikologis yang menyebut tahap-tahap kemudian sebagai “lebih tinggi”, ”lebih
berkembang”, “lebih teridentifikasikan dan terintegrasikan”, dan “lebih
terekuilibrasi”.
Para
filsuf yang telah berpegang pada otonomi moral yakni pada pandangan bahwa
pikiran moral atau ukuran-ukuran moral tidak dapat direduksi pada kriteria
sebelumnya. Bahasa moral dan tindakan moral disebut sui generis yang artinya keduanya hanya dinilai berdasarkan
pengertian mereka sendiri.
Dalam
karangan “Levels of Morals Discourse” oleh Aiken (1952), bahasa moral
berlanggsung pada dua tingkat, yakni tingkat konvensional dan tingkat moral
yang berdasarkan prinsip. Pada tingkat konvensional, bahasa moral mengacu pada
harapan actual atau peraturan kelompok atau anggota-anggota khusus kelompok.
Pada tingkay ini fungsi pengadil moral terutama berperan sebagai suatu
perantara atau agen, ia menyuarakan tuntutan-tuntutan masyarakat tetapi dia
bukanlah sumber utama dari otoritas moral ini. Pertimbangan yang didasarkan
atas suatu sikap atau sudut pandangan moral yang menegaskan diri sebagai
bersifat moral secara otonom, yakni tidak terikat pada otoritas maupun
kepentingan diri. Pertimbangan moral pertama-tama merupakan suatu fungsi dari
kegiatan yang rasional. Pertimbangan moral adalah penilaian tentang benar dan
baiknya sebuah tindakan.
Kata
moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral
adalah bidang kehidupan manusia yang dilihat dari segi kebaikannya sebagai
manusia. Norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan benar salahnya sikap
dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan
sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Norma moral adalah tolak ukur yang
dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang, oleh sebab itu dengan
norma moral kita benar-benar diniai. Dengan norma moral, kita dilihat sebagai
manusia seutuhnya. Faktor penentu utama yang didapat dari pengalaman bagi
perkembangan moral tampaknya berupa jumlah dan kenekaragaman pengalaman sosial,
kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan untuk berjumpa dengan sudut
pandang lain.
5.
Perkembangan Moral
Perkembangan
filosofis dan psikologis kurikulum tersamar oleh Durkheim dalam pelaksanaanya
disekolah umum sehari-hari menandaskan yang merupakan dasar pemikiran
satu-satunya yang konsisten secara logis bagi pendidikan moral diadakan secara
sengaja atas dasar pengandaian pokok yang umum di kalangan kebanyakan ilmuwan
sosial, yakni pengandaian mengenai relativitas budaya dan historis dari
nilai-nilai moral.
“Nilai
moral merupakan penilaian terhadap
tindakan yang umumnya diyakini oleh para anggota suatu masyarakat
tertentu sebagai yang salah atau yang benar” (Berkowitz, 1964, hlm.44). “Mereka
semua memandang perkembangan moral dan bentuk-bentuk sosialisasi lainnya
sebagai “keseluruhan proses, dengannya seorang pribadi, yang lahir dengan sangat
banyak kemungkinan tingkah laku yang beraneka ragam, didorong untuk
mengembangkan tingkah laku actual yang dibatasi pada bidang yang jauh lebih
sempit, yaitu bidang dari apa yang lazim dan dapat diterima olehnya sesuai
dengan ukuran kelompoknya” (Child, 1954, hlm. 655). Perkembangan
moral dapat pula dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget (dalam Slavin,
2006:51) bahkan mempercayai bahwa struktur kognitif dan kemampuan kognitif anak
adalah dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif itulah yang
kemudian akan membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan
masalah sosial
Mengembangkan teori dari Piaget,
Lawrence Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu
tingkat prekonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat postkonvensional
(Slavin, 2006:54).
Tabel Tahap Perkembangan Moral Piaget
|
Tahap heteronomous
(tahap
realisme moral)
Anak usia
<12 tahun
|
Tahap Autonomous
(tahap
independensi moral)
Anak usia
>12 tahun
|
|
Diberi
label tahap moralitas kendala
|
Diberi
label tahap moralitas kerjasama
|
|
Aturan
dipandang sebagai paksaan dari orang yang lebih dewasa
|
Aturan
dipandang sebagai hasil kesepakatan bersama
|
|
Menilai
perilaku moral berdasarkan konsekuensinya
|
Menilai
perilaku moral berdasarkan niat pelakunya
|
|
Hukuman
dipandang sebagai konsekuensi otomatis dari pelanggaran
|
Hukuman
dipandang sebagai sesuatu hal yang tidak serta merta, namun dipengaruhi oleh
niat pelakunya
|
Dengan cara
tersebut, penalaran moral anak berkembang melalui tiga tingkat yang berbeda
meskipun tidak semua anak mampu menguasainya (Manning, 1977:108).
Berikut ini
adalah tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg (dalam Cahyono dan
Suparyo, 1985:37-45), di mana masing-masing tingkat memuat dua tahap
perkembangan moral:
1.
Tingkat Prekonvensional
Pada
tingkat pertama ini, anak sangat tanggap terhadap norma-norma budaya, misalnya
norma-norma baik atau buruk, salah atau benar, dan sebagainya. Anak akan
mengaitkan norma-norma tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas
tindakan yang dilakukan.
a. Tahap Punishment and Obedience Orientation
Pada tahap ini, secara umum anak menganggap bahwa konsekuensi yang
ditimbulkan dari suatu tindakan sangat menentukan baik-buruknya suatu tindakan
yang dilakukan, tanpa melihat sisi manusianya.
b. Tahap Instrumental-Relativist Orientation atau Hedonistic Orientation
Pada tahap ini, suatu tindakan
dikatakan benar apabila tindakan tersebut mampu memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri
maupun orang lain.
2.
Tingkat
Konvensional
Pada
tingkat perkembangan moral konvensional, memenuhi harapan keluarga, kelompok,
masyarakat, maupun bangsanya merupakan suatu tindakan yang terpuji. Usaha
seseorang untuk memperoleh, mendukung, dan mengakui keabsahan tertib sosial
sangat ditekankan, serta usaha aktif untuk menjalin hubungan positif antara
diri dengan orang lain maupun dengan
kelompok di sekitarnya.
a. Tahap Interpersonal Concordance atau
Good-Boy/Good-Girl Orientation
Pandangan anak pada tahap ini, tindakan yang
bermoral adalah tindakan yang menyenangkan, membantu, atau tindakan yang diakui
dan diterima oleh orang lain.
b. Tahap Law and Order Orientation
Pada tahap
ini, pandangan anak selalu mengarah pada otoritas, pemenuhan aturan-aturan, dan
juga upaya untuk memelihara tertib sosial. Tindakan bermoral dianggap sebagai
tindakan yang mengarah pada pemenuhan kewajiban, penghormatan terhadap suatu
otoritas, dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya
tertib sosial yang ada.
3.
Tingkat
Postkonvensional
Pada
tingkat ketiga ini, terdapat usaha dalam diri anak untuk menentukan nilai-nilai
dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus
mengaitkan dengan otoritas kelompok maupun individu dan terlepas dari hubungan
seseorang dengan kelompok.
a. Tahap Social-Contract, Legalistic Orientation
Tahap ini
merupakan tahap kematangan moral yang cukup tinggi. Pada tahap ini tindakan
yang dianggap bermoral merupakan tindakan-tindakan yang mampu merefleksikan
hak-hak individu dan memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan
telah disepakati oleh masyarakat luas. Seseorang yang berada pada tahap ini
menyadari perbedaan individu dan pendapat.
b. Tahap Orientation of Universal Ethical Principles
Pada tahap yang tertinggi ini, moral dipandang
benar tidak harus dibatasi oleh hukum atau aturan dari kelompok sosial atau
masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi oleh kesadaran manusia dengan
dilandasi prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip tersebut dianggap jauh lebih
baik, lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup prinsip-prinsip umum seperti
keadilan, persamaan HAM, dan sebagainya.
Daftar Rujukan
Hardiwardoyo,
Al. Purwa. 1989. Etika Medis.
Yogyakarta:Kanisius.
Hendrik. 2011. Etika & Hukum Kesehatan. Jakarta:EGC.
Ismani, Nila. 2001. Etika Keperawatan. Jakarta:Widya Medika.
Kohlberg, Lawrence. 1995. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta:Kanisius.
Magniz, Franz. Suseno. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta:Kanisius.
Potter, Perry. 1999. Fundamental Keperawatan edisi 4. Jakarta:EGC.
Potter, Perry. 2009. Fundamental Keperawatan edisi 7. Jakarta:Salemba Medika.
Salam, Burhanuddin. 1997. Etika Sosial Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta:PT
Rineka Cipta.
Simamora, Roymond H. 2009. Manajemen Keperawatan. Jakarta:EGC.
Hendrik. 2011. Etika & Hukum Kesehatan. Jakarta:EGC.
Ismani, Nila. 2001. Etika Keperawatan. Jakarta:Widya Medika.
Kohlberg, Lawrence. 1995. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta:Kanisius.
Magniz, Franz. Suseno. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta:Kanisius.
Potter, Perry. 1999. Fundamental Keperawatan edisi 4. Jakarta:EGC.
Potter, Perry. 2009. Fundamental Keperawatan edisi 7. Jakarta:Salemba Medika.
Salam, Burhanuddin. 1997. Etika Sosial Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta:PT
Rineka Cipta.
Simamora, Roymond H. 2009. Manajemen Keperawatan. Jakarta:EGC.