Minggu, 13 Maret 2016


Resume
Untuk memenuhi tugas matakuliah Etika Keperawatan

Oleh
Siwi Magda Ayu Prisdayanti
1501300055

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN BLITAR
MARET 2016


1.     Nilai
Latar belakang budaya seseorang mempengaruhi nilai kesehatan. Nilai memberikan hidup dan identitas kepada individu, profesi, dan masyarakat. Nilai dibentuk dan dipertahankan oleh individu pelakunya dan juga oleh sekelompok orang. Nilai seorang perawat mempengaruhi perawatan terhadap klien. Perawat menggunakan klarifikasi nilai dengan klien akan memberikan respon yang bersifat menjelaskan yang akan menstimulasi adanya intropeksi mengenai nilai dan perilaku.  
Ada beberapa pengertian tentang nilai, yaitu:
1.      Nilai adalah kepercayaan individu tentang kegunaan dari ide, sikap, adat istiadat, atau objek yang menentukan standar yang mempengaruhi perilaku
(Maslow, 1977; Rokeach, 1973).
2.      Nilai adalah keyakinan personal mengenai harga atas suatu ide, tingkah laku, kebiasaan, atau objek yang menyusun suatu standar yang mempengaruhi tingkah laku (Kluckhon, 1951; Maslow, 1959; Rockeach, 1973).
3.      Nilai adalah seperangkat keyakinan dan sikap pribadi seseorang tentang kebenaran, keindahan, dan penghargaan dari suatu pemikiran, objek, atau perilaku yang berorientasi pada tindakan dana pemberian arah serta makna pada kehidupan seorang (Simon dalam Nila Ismani, 2001).
4.      Nilai adalah keyakinan seorang tentang sesuatu yang berharga, kebenaran, atau keinginan mengenai ide-ide, objek, atau perilaku khusus
(Znowski dalam Nila Ismani, 2001).
Nilai muncul dari pengalaman pribadi seseorang dan akan berbeda untuk setiap orang. Karakteristik nilai yakni :
a.       Nilai membentuk dasar perilaku seseorang.
b.      Nilai nyata dari seseorang diperlihatkan melalui pola perilaku yang konsisten.
c.       Nilai menjadi control internal bagi perilaku seseorang.
d.      Nilai merupakan komponen intelektula dan emosiaonal dari seseorang yang secara intelektual diyakinkan tentabf suatu nilai serta memegang teguh dan mempertahankannya.
Nilai-nilai yang diperlukan oleh seorang perawat adalah:
1.      Kejujuran                          3. Ketepatan dalam setiap tindakan
2.      Lemah lembut                   4. Menghargai orang lain

2.     Norma
Norma berasal dari kata “norm” yang artinya pedoman atau patokan bagi setiap orang dalam bersikap tindak baik terhadap diri orang lain ataupun terhadap dirinya sendiri.Dalam bahasa Belanda istilah norma disebut juga “maatregel”, maat artinya sama dengan kaidah yang berasaldari kata “aqidah”.
Norma insubjektif adalah norma yang menjadi pedoman untuk bersikap tindak terhadap orang lain dengan norma sopan santun, norma hokum, dan norma tata tertib. Norma reflektif adalah norma yang diperlukan sebagai pedoman untuk bersikap tindak terhadap diri sendiri.
Norma yang menjadi pedoman bagi manusia dalam bersikap menurut bidang pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Ada empat bidang dalam kehidupan manusia yang sesuai dengan norma yakni :
1. Kaedah kepercayaan atau agama
Kaedah ini mengacu pada kewajiban manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan kepada dirinya sendiri. Sumber atau asal kaedah ini adalah ajaran kepercayaan atau agama yang oleh pengikutnya dianggap sebagai perintah Tuhan. Dengan demikian diharapkan manusia memiliki sikap batin sesuai dengan isi kaedah kepercayaan atau keagamaan.
2. Kaedah kesusilaan
Kaedah kesusilaan adalah nurani individu dan bukan manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai makhluk sosial teroganisir. Kaedah ini ditujukan kepada umat manusia agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi guna penyempurnaan manusia dan melarang manusia untuk melakukan kejahatan.
3. Kaedah sopan santun
Didasarkan apada kebiasaan, kepatutan, atau kepantasan yang berlaku dalam masyarakat. Kaedah sopan santun hanya membebani manusia dengan kewajiban. Berbeda lapisan masyarakat, berbeda pula sopan santunnya.
4. Kaedah hukum
Kaedah hokum ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkret, yaitu si pelaku pelanggaran yang jelas-jelas berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk ketertiban masyarakat agar masyarakattertib, tidak ada korban kejahatan, dan tidak terjadi kejahatan.

3.     Etika dan Etiket
Etika berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu ethos yang dalam bentuk tunggal
mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang,kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir.
Etika merupakan suatu pertimbangan yang sistematis tentang perilaku benar
atau salah. Etika merupakan aplikasi atau penerapan teori tentang filosofi moral kedalam situasi nyata dan berfokus pada prinsip dan konsep yang membimbing manusia berpikir dan bertindak dalam kehidupannya yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dianutnya.
            Etika medis adalah bagian dari etika yang secara khusus memperhatikan pelaksanaan dan perencanaan pelayanan medis, semangat yang mendasarinya, dan hal-hl lain yang berkaitan dengannya.
Etiket atau adat merupakan sesuatu yang dikenal, diketahui, diulang, serta menjadi suatu kebiasaan di dalam suatu masyarakat, baik berupa kata-kata atau suatu bentuk perbuatan yang nyata.
Ø  Persamaan etika dan etiket :
a.       Etika dan etiket menyangkut perilaku manusia, istilah ini hanya digunakan untuk manusia.
b.      Baik etika maupun etiket mengatur tentang perilaku manusia secara normative, artinya memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan.
Ø  Perbedaan etika dan etiket :
Etika
Etiket
Tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan melainkan memberi norma tentang perbuatan itu sendiri.
Menyangkut cara suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia yang telah ditentukan dalam suatu kalangan tertentu.
Etika tidak bergantung pada hadir tidaknya orang lain.
Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Jika tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, etiket tidak berlaku.
Mudah diberi dispensasi atau keringanan
Bersifat relatif
Menyangkut manusia dari segi dalam
Memandang manusia dari segi lahiriah saja

4.     Moral
Kohlberg telah berusaha memperlihatkan bahwa tahap-tahap moral menyajikan suatu rangkaian tetap dengan tahap yang lebih tinggi, secara struktural lebih memadai dari tahap-tahap sebelumnya. Keadekuatan seperti itu dapat ditinjau dari sudut psikologis yang menyebut tahap-tahap kemudian sebagai “lebih tinggi”, ”lebih berkembang”, “lebih teridentifikasikan dan terintegrasikan”, dan “lebih terekuilibrasi”.
Para filsuf yang telah berpegang pada otonomi moral yakni pada pandangan bahwa pikiran moral atau ukuran-ukuran moral tidak dapat direduksi pada kriteria sebelumnya. Bahasa moral dan tindakan moral disebut sui generis yang artinya keduanya hanya dinilai berdasarkan pengertian mereka sendiri.
Dalam karangan “Levels of Morals Discourse” oleh Aiken (1952), bahasa moral berlanggsung pada dua tingkat, yakni tingkat konvensional dan tingkat moral yang berdasarkan prinsip. Pada tingkat konvensional, bahasa moral mengacu pada harapan actual atau peraturan kelompok atau anggota-anggota khusus kelompok. Pada tingkay ini fungsi pengadil moral terutama berperan sebagai suatu perantara atau agen, ia menyuarakan tuntutan-tuntutan masyarakat tetapi dia bukanlah sumber utama dari otoritas moral ini. Pertimbangan yang didasarkan atas suatu sikap atau sudut pandangan moral yang menegaskan diri sebagai bersifat moral secara otonom, yakni tidak terikat pada otoritas maupun kepentingan diri. Pertimbangan moral pertama-tama merupakan suatu fungsi dari kegiatan yang rasional. Pertimbangan moral adalah penilaian tentang benar dan baiknya sebuah tindakan.
Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia yang dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan benar salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Norma moral adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang, oleh sebab itu dengan norma moral kita benar-benar diniai. Dengan norma moral, kita dilihat sebagai manusia seutuhnya. Faktor penentu utama yang didapat dari pengalaman bagi perkembangan moral tampaknya berupa jumlah dan kenekaragaman pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan untuk berjumpa dengan sudut pandang lain. 
5.     Perkembangan Moral
Perkembangan filosofis dan psikologis kurikulum tersamar oleh Durkheim dalam pelaksanaanya disekolah umum sehari-hari menandaskan yang merupakan dasar pemikiran satu-satunya yang konsisten secara logis bagi pendidikan moral diadakan secara sengaja atas dasar pengandaian pokok yang umum di kalangan kebanyakan ilmuwan sosial, yakni pengandaian mengenai relativitas budaya dan historis dari nilai-nilai moral.
“Nilai moral merupakan penilaian terhadap  tindakan yang umumnya diyakini oleh para anggota suatu masyarakat tertentu sebagai yang salah atau yang benar” (Berkowitz, 1964, hlm.44). “Mereka semua memandang perkembangan moral dan bentuk-bentuk sosialisasi lainnya sebagai “keseluruhan proses, dengannya seorang pribadi, yang lahir dengan sangat banyak kemungkinan tingkah laku yang beraneka ragam, didorong untuk mengembangkan tingkah laku actual yang dibatasi pada bidang yang jauh lebih sempit, yaitu bidang dari apa yang lazim dan dapat diterima olehnya sesuai dengan ukuran kelompoknya” (Child, 1954, hlm. 655). Perkembangan moral dapat pula dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget (dalam Slavin, 2006:51) bahkan mempercayai bahwa struktur kognitif dan kemampuan kognitif anak adalah dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif itulah yang kemudian akan membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan masalah sosial
Mengembangkan teori dari Piaget, Lawrence Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat prekonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat postkonvensional (Slavin, 2006:54).
Tabel Tahap Perkembangan Moral Piaget
Tahap heteronomous
(tahap realisme moral)
Anak usia <12 tahun
Tahap Autonomous
(tahap independensi moral)
Anak usia >12 tahun
Diberi label tahap moralitas kendala
Diberi label tahap moralitas kerjasama
Aturan dipandang sebagai paksaan dari orang yang lebih dewasa
Aturan dipandang sebagai hasil kesepakatan bersama
Menilai perilaku moral berdasarkan konsekuensinya
Menilai perilaku moral berdasarkan niat pelakunya
Hukuman dipandang sebagai konsekuensi otomatis dari pelanggaran
Hukuman dipandang sebagai sesuatu hal yang tidak serta merta, namun dipengaruhi oleh niat pelakunya

Dengan cara tersebut, penalaran moral anak berkembang melalui tiga tingkat yang berbeda meskipun tidak semua anak mampu menguasainya (Manning, 1977:108).
Berikut ini adalah tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:37-45), di mana masing-masing tingkat memuat dua tahap perkembangan moral:

1.            Tingkat Prekonvensional
Pada tingkat pertama ini, anak sangat tanggap terhadap norma-norma budaya, misalnya norma-norma baik atau buruk, salah atau benar, dan sebagainya. Anak akan mengaitkan norma-norma tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas tindakan yang dilakukan.
a.    Tahap Punishment and Obedience Orientation
Pada tahap ini, secara umum anak menganggap bahwa konsekuensi yang ditimbulkan dari suatu tindakan sangat menentukan baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan, tanpa melihat sisi manusianya.
b.   Tahap Instrumental-Relativist Orientation atau Hedonistic Orientation
Pada tahap ini, suatu tindakan dikatakan benar apabila tindakan tersebut mampu memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri maupun orang lain.
2.            Tingkat Konvensional
Pada tingkat perkembangan moral konvensional, memenuhi harapan keluarga, kelompok, masyarakat, maupun bangsanya merupakan suatu tindakan yang terpuji. Usaha seseorang untuk memperoleh, mendukung, dan mengakui keabsahan tertib sosial sangat ditekankan, serta usaha aktif untuk menjalin hubungan positif antara diri dengan orang lain maupun dengan kelompok di sekitarnya.
a.    Tahap Interpersonal Concordance atau Good-Boy/Good-Girl Orientation
Pandangan anak pada tahap ini, tindakan yang bermoral adalah tindakan yang menyenangkan, membantu, atau tindakan yang diakui dan diterima oleh orang lain.
b.   Tahap Law and Order Orientation
Pada tahap ini, pandangan anak selalu mengarah pada otoritas, pemenuhan aturan-aturan, dan juga upaya untuk memelihara tertib sosial. Tindakan bermoral dianggap sebagai tindakan yang mengarah pada pemenuhan kewajiban, penghormatan terhadap suatu otoritas, dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang ada.  

3.            Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat ketiga ini, terdapat usaha dalam diri anak untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus mengaitkan dengan otoritas kelompok maupun individu dan terlepas dari hubungan seseorang dengan kelompok.

a.    Tahap Social-Contract, Legalistic Orientation
Tahap ini merupakan tahap kematangan moral yang cukup tinggi. Pada tahap ini tindakan yang dianggap bermoral merupakan tindakan-tindakan yang mampu merefleksikan hak-hak individu dan memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat luas. Seseorang yang berada pada tahap ini menyadari perbedaan individu dan pendapat.
b.   Tahap Orientation of Universal Ethical Principles
Pada tahap yang tertinggi ini, moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum atau aturan dari kelompok sosial atau masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi oleh kesadaran manusia dengan dilandasi prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip tersebut dianggap jauh lebih baik, lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup prinsip-prinsip umum seperti keadilan, persamaan HAM, dan sebagainya.

Daftar Rujukan
Hardiwardoyo, Al. Purwa. 1989. Etika Medis. Yogyakarta:Kanisius.
Hendrik. 2011. Etika & Hukum Kesehatan. Jakarta:EGC.
Ismani, Nila. 2001. Etika Keperawatan. Jakarta:Widya Medika.
Kohlberg, Lawrence. 1995. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta:Kanisius.
Magniz, Franz. Suseno. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah pokok Filsafat Moral.
           Yogyakarta:Kanisius.
Potter, Perry. 1999. Fundamental Keperawatan edisi 4. Jakarta:EGC.
Potter, Perry. 2009. Fundamental Keperawatan edisi 7. Jakarta:Salemba Medika.
Salam, Burhanuddin. 1997. Etika Sosial Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta:PT
            Rineka Cipta.
Simamora, Roymond H. 2009. Manajemen Keperawatan. Jakarta:EGC.